Anak-anak di Seberang Jalan Universitas

Sudah 2 tahun lebih sejak aku bergabung dengan sebuah komunitas yang berfokus untuk mendampingi anak-anak jalanan. Dengan aktifitas tiap pekannya mengajar anak jalanan itu dengan tema belajar yang beragam.

Sebelum bergabung di sana, aku sudah aktif dalam himpunan di kampus dan beberapa Unit Kegiatan Mahasiswa, berusaha untuk mencari kegiatan yang lebih bervariasi lagi, dan tentunya lebih mengasah empati, aku kemudian menemukan komunitas itu.

Lingkungan Universitas yang luas dan bangunan tinggi yang berjejer, pohon-pohon besar yang rindang dan teduh, suasana lingkungan civitas akademika yang baik. Di luar lingkungan universitas itu, aku tak menduga, di seberang jalan raya di balik bangunan yang tumpang tindih yang dibelah oleh lorong gang sempit ada sebuah perkampungan yang secara tidak langsung  tercipta dari arus urbanisasi kota. Perkampungan itu berada di balik jejeran ruko bertingkat dua di pinggir jalan raya. Tepatnya di balik pertokoan yang menjual barang-barang dengan harga terjangkau.

Dulu banyak pengemis yang berkeliaran di sana, anak-anak kecil “meminta” dengan cara sedikit memaksa pada para pengunjung toko yang berjejer.

Sekarang memang masih ada, tapi jumlahnya sedikit berkurang.

Di tahun 2010, sekelompok mahasiswa dari Universitas yang lingkungan kampusnya teduh itu kemudian mempelopori sebuah kegiatan pembelajaran kepada anak-anak jalanan yang umumnya berasal dari perkampungan yang berada di seberang kampus itu. Dengan keprihatinan dan semangat anak muda mereka berusaha untuk mengumpulkan anak-anak jalanan itu agar mau belajar. Tujuan utamanya sebenarnya sederhana. Jangan ada anak yang turun ke jalan untuk bekerja, karena mereka seharusnya berada di bangku sekolah.

IMG_20180225_095438

Selama hidup aku tak pernah merasakan sulitnya mengenyam pendidikan, namun saat melihat anak-anak itu pikiran mereka pasti terasa lebih berat.  Terkadang orang tua mereka hanya buruh harian atau bekerja serabutan. Mereka bahkan masih memikirkan untuk makan hari ini,  mereka tidak sempat untuk memikirkan  cita-citanya.

Banyak orangtua dari mereka yang berpikir bahwa sekolah hanya membuang waktu, dan tetap banyak pengangguran meski mereka pernah bersekolah.

Sekolah hanya membuang energi, dan sebaiknya mereka langsung mencari kerja saja. Untuk mereka kehidupan keluarga dan anak-anak dikorbankan di sini. Mereka membantu orangtua  mereka untuk bekerja di usia yang sangat dini. Tak ada yang salah, karena membantu orangtua, tapi apakah anak-anak akan bahagia dalam kehidupannya di masa kecil yang keras seperti itu?.

Kebanyakan orang mengukur sesuatu dengan materi dan standar kebahagiaan dengan kemewahan. Pendidikan sejatinya bukan wadah untuk mencari pekerjaan ataupun kekayaan yang melimpah. Pendidikan adalah penggerak peradaban di mana kita harus belajar banyak hal atau pengetahuan yang baru.

Pendidikan tidak hanya ada di sekolah formal, pendidikan telah melebur dalam kehidupan, dan dalam kehidupan ini kita bisa memilih diam atau bergerak bersama dengan orang-orang yang memiliki harapan dan mimpi yang sama.

Awalnya anak jalanan itu harus dijemput, perlahan berjalannya waktu, mereka secara suka rela datang sendiri untuk belajar setiap akhir pekan.

Setiap hari Minggu, teman-teman anggota komunitas mengajarkan mereka ilmu dan berbagi kisah tentang hal-hal yang baru, sekarang 2018, kegiatan itu sudah berlangsung selama 8 tahun.

Perubahan itu butuh proses, dan kita harus menikmati prosesnya. Tidak ada yang instan dan semua proses terkadang penuhi oleh tantangan dan kerja keras.

PANTAI LOSARI, LANDMARK KOTA MAKASSAR

Perkembangan Pantai Losari sebagai landmark kota Makassar kini berkembang sangat pesat, awalnya hanya beton sederhana yang dibangun di bibir pantai untuk menghalau ombak, hingga menjelma menjadi lahan reklamasi yang ditata sedemikian rupa. Pemerintah kota terus memoles Losari, berusaha menyediakan sarana publik yang menarik.

IMG_20180127_172829

Memadang jauh ke depan, maka akan dijumpai hamparan lautan biru yang luas. Reklamasi pantai dibangun di area itu, khusus area sepanjang pantai Losari, ada beberapa anjungan yang dibangun, kemudian  dinamakan dengan nama empat suku mayoritas yang ada di Sulawesi Selatan seperti Bugis Makassar,  Toraja,  dan Mandar. Berbatasan langsung dengan Selat Makassar. Pantai Losari dengan bibir  pantai yang kini dibeton, jika ingin menjumpai pantai berpasir, silakan berjalan ke sebelah kanan  ke area Pantai Akkarena, Pantai Tanjung Bayang.

Bermula dari anjungan pantai, kini ada masjid terapung, sebagai kota dengan penduduk mayoritas muslim kehadiran masjid ini sungguh sangat penting. Karena saat pengunjung berjalan-jalan di sekitar Pantai Losari, ketika bertepatan dengan waktu shalat, mereka bisa singgah sejenak ke masjid. Melengkapi fasilitas yang ada di Pantai Losari, dibangun beberapa tugu atau patung, berupa tugu pahlawan, tugu dengan unsur budaya seperti penari atau becak. Dan ada juga  galeri lukisan di sana, yang terbaru dibangun sebuah lapangan futsal  terapung di area anjungan.

Pada pagi hari area ini dijadikan sebagai sarana olaraga, masyarakat lari pagi sepanjang pantai. Pada malam hari kerlap kerlip lampu dari bangunan seberang menyinari Pantai Losari, semakin larut semakin ramai. Menjelang senja mendadak muncul pedagang makanan di sekitar Pantai Losari, jika ingin mencicipi sebuah makanan, jangan lupa mencicipi kuliner khas Makassar, bernama Pisang Epe’.

Pantai Losari menjadi sangat ramai sekarang,  apalagi menjelang akhir pekan.  Dari hari ke hari Pantai Losari sebagai landmark Kota Makassar terus mempermolek rupanya.

DI BALIK MANISNYA KUE TRADISIONAL BUGIS MAKASSAR

Hari itu ibuku membawa sepiring kue yang berasal dari acara pernikahan sepupuku. Sejak kecil aku sering melihat kue-kue itu. Kue tradisional khas bugis Makassar dengan rasa yang sangat manis.

IMG_2710
Sepiring kue

Di atas piring itu, yang menarik perhatianku adalah kue bolu kecil yang berbentuk bunga dan bentuk seperti perahu itu, kue yang terlihat lebih modern, jika dibandingkan dengan kue Bugis Makassar lainnya seperti kue Barongko (kue pisang yang dibungkus daun pisang), ataupun kue Bannang-bannang (kue yang terbuat dari gula merah).

Aku menduga bahwa keberadaan kue itu masih ada kaitannya dengan pengaruh peninggalan budaya kolonial Belanda di Indonesia. Kue bolu yang sama seperti kue Eropa.

IMG_20180319_100449
Kue bolu

IMG_20180319_100537

Di sisi lain piring ada kue yang jelas menegaskan pengaruh budaya kolonial Belanda, namanya Kue Baruasa Belanda, kue ini berwarna putih (kemungkinan ibu-ibu yang meraciknya dengan gula putih bukan dengan gula merah), biasanya bahan utamanya tepung yang dicampur dengan gula merah sehingga ketika dipanggang kue itu berwarna kecoklatan dan mengeluarkan aroma khas gula merah dan kayu manis.


IMG_20180319_100403
Kue Baruasa Belanda

Kue yang lain ada kue yang terbuat dari tepung yang dibentuk sedemikian rupa dan dibalut dengan tepung gula pasir. Waktu kecil aku menyebutnya kue kacamata karena menurutku bentuknya menyerupai kacamata. Rasanya sangat manis, terkadang jika memakannya terlalu banyak, bisa menyebabkan kerongkongan menjadi kering. Kue ini selalu ada di acara pernikahan Bugis Makassar.

IMG_20180319_100635 - Copy
Kue kacamata alias Kue Ajoa

Kemudian aku mengetahui bahwa kehadiran kue ini memiliki arti di balik kehadirannya. Sebuah kue yang berbentuk kacamata yang ternyata bernama Ajoa, (aku baru tau kalau namanya Ajoa) dan arti sebenarnya dari bentuk kue itu adalah reflika dari sebuah alat bernama Ajoa. Ajoa adalah alat yang digunakan untuk membajak sawah, alat itu dipasangkan di kedua leher kerbau. Zaman dahulu belum mengenal traktor dan yang digunakan adalah ajoa sebagai alat sederhana. Kalau dari filosofinya sendiri ajoa yaitu agar pengantin baru dapat saling berjuang bersama dan saling membantu dalam menjalani kehidupan rumah tangga.

Jika Ada Ajoa, maka ada lagi Se’ro-se’ro, bahan utamanya sendiri serupa dengan Kue Ajoa, tepung beras, telur dan ditaburi tepung gula putih.

Se’ro-se’ro sendiri berarti timbah (bahasa Bugis Makassar). Zaman dahulu belum ada mesin air, ataupun air PDAM jadi mandi biasanya mandi di sumur, kaitannya dengan adat jaman dulu, biasanya pasangan yang baru menikah bergantian menimbah air di sumur, maksudnya hampir serupa dengan Kue Ajoa, tapi untuk kue Se’ro-se’ro sendiri saya rasa filosofinya lebih romantis.

IMG_20180319_100658
Kue Se’ro-se’ro

Jadi sekian lama menikmati kue traditional ini sejak kecil, aku akhirnya mengetahui bahwa kue ini bukan hanya hadir sebagai pelengkap tetapi kue traditional ini memiliki doa dan filosofi mendalam di balik rasanya yang manis.

IMG_20180319_100056

Melihat Terang Dalam Gelap

Mataku rabun jauh, minus 2. Ketika berada di kelas saya tak bisa melihat tulisan di papan tulis dengan jelas. Pernah di kampus, temanku memanggil namaku di seberang jalan, Ia berada sekitar 9 meter jaraknya dari tempatku berada. Saya hanya melambaikan tangan dan tersenyum tapi saya tak mengenali dengan jelas wajahnya dari kejauhan, buram.

Sekarang saya belum mengetahui berapa ukuran minus mataku, apakah bertambah atau berkurang. Tapi kurasa mataku semakin lelah. Saya terlalu lama berada di depan laptop atau smartphone. Tapi saya terkadang merasa kurang nyaman memakai kacamata. Rasanya berat untuk menopang gagang kacamata di wajahku, dan satu hal lagi, saya sering lupa dimana saya meletakkan kacamata itu. Saya kadang mengeluhkan tentang mataku.

Dan keluhan itu terhenti pada awal tahun ini, saat saya bergabung sebagai pendamping literasi dalam kelas literasi untuk difabel netra.

IMG_20180224_160857

Setiap hari Sabtu kami mendampingi teman-teman difabel dan nantinya akan ada pengajar utama yang sudah ahli dalam bidang literasi yang membimbing para siswa dalam menulis cerita.

IMG_20180224_165937
Kawan-kawan difabel netra sedang mendengarkan materi dari pengajar dalam kelas literasi

Dalam kelas literasi itu ada beberapa pendamping literasi yang lain, dan sekitar 10 peserta kelas yang merupakan difabel netra. Mereka tak sepenuhnya tak melihat (blind total atau buta total) sebagian yang lain ada yang masih bisa melihat, namun hanya pada jarak yang sangat dekat (low vision). Umur mereka bermacam-macam, usia 14 tahun hingga 26 tahun. Ada siswa yang bahkan telah menyelesaikan studi S2nya, ada yang masih remaja namun sangat berbakat dalam menulis, ada yang memiliki kemampuan dalam merangkai kata-kata puitis.

IMG_20180224_164233
Peserta kelas literasi menggunakan aplikasi screen reader yang memudahkan mereka untuk menulis.

Dengan kecanggihan teknologi, para siswa memanfaatkan laptop dengan aplikasi screen reader. Screen reader memudahkan para siswa yang memiliki keterbatasan dalam melihat. Mereka memasang headset dan menghafal tombol-tombol fungsi dalam keyboard. Jemari mereka meraba tombol keyboard dan mengetik dengan lancar, dalam layar aku bisa melihat dengan jelas isi pikiran mereka yang telah tertuang dalam tulisan.

Saya pernah membaca kisah tentang Hellen Keler ketika SMA. Dan sekarang saya melihat langsung perjuangan seorang difabel netra untuk menerima hak yang sama untuk berkembang, saya melihat itu sekarang, semangat belajar seperti yang dimiliki oleh Hellen Keller, ada pada mereka.

page
Fasilitas yang didesain khusus untuk siswa difabel netra

Pandangan awalku, jika kau tak bisa melihat. Apa yang akan kau lakukan, semuanya jadi serba sulit bukan? tapi di tempat itu, Yayasan SLB khusus tunanetra tak ada yang tak mungkin. Mereka sangat mandiri, Asrama siswa difabel tunantera itu bahkan lebih bersih daripada asrama mahasiswa di kampus. Mereka bisa membersihkan tempat mereka sendiri, mereka diajari untuk memakai pakaian yang serasi, mereka berjalan dengan lancar, dan melakukan kegiatan tanpa beban berarti. Mereka shalat dan berwudhu dengan tepat waktu, adzan dengan merdu bahkan mengaji. Mereka membaca Al-Qur’an khusus dengan tulisan braille.

ok
Al-Qur’an braille yang sangat tebal

Berada di sana aku seperti melihat keajaiban.

Aroma Kisah Inklusi dalam Secangkir Kopi Kahayya

Aroma Kopi telah menuntun kami ke Kahayya, sebuah desa di daerah pegunungan, tepatnya di Kec. Kindang, Kabupaten Bulukumba, berjarak kurang lebih 180 km dari Kota Makasar. Desember 2017 ini saya berkesempatan melakukan trip ke Kahayya bersama dengan kawan-kawan blogger.

IMG_20171219_131818
Kopi Kahayya

Mendengar nama Bulukumba yang terlintas dipikiran saya pertama kali adalah pantai, pasir, dan batuan gamping terumbu yang menyusunnya, Kahayya sama sekali berbeda. Seperti nama asli dari Bulukumba, (Bahasa Bugis Bulu’ yaitu gunung) saya benar-benar akan ke daerah gunung, bukan pantai.

Perjalanan Makasar- kota Bulukumba, memakan waktu sekitar 4 jam. Beranjak dari Kota Makassar pada pukul 17.00 WITA hingga menjelang malam hari memasuki gerbang Kec. Kindang. Menuju Desa Kahayya. Melalui jalan yang membelah rimbunnya hutan disambut oleh jalan menanjak dan berliku khas pegunungan.

Satu jam kemudian kami tiba di Desa Kahayya, karena sudah larut malam, dan butuh isitrahat. Sebagian teman menginap di rumah Kepala Dusun dan sebagian yang lain menginap di rumah Kepala Desa. Saya dan beberapa teman-teman bergerak ke rumah Kepala Dusun, Ansar. Sebuah jalan menanjak yang telah dibeton harus kami tapaki agar bisa sampai ke rumah tersebut.

Keesokan paginya,  Kami dijamu teh daun kopi, kopi hitam, dan pisang gorengan buatan istri kepala dusun, Nuraeni. Di tengah dinginnya udara pagi pegunungan, tuan rumah  telah menyambut kami dengan hangat. Ditemani secangkir kopi kawan-kawan blogger mengobrol dengan Kepala Dusun. Awalnya ia tampak pendiam, namun saat menceritakan tentang kopi dan perkembangan desanya ia langsung menyunggingkan senyum dengan wajah yang berseri begitupun dengan istrinya.

“Listrik ada kira-kira 2015 kemarin” ujar Ansar.

“Untuk bangun rumah baru, dulu material bangunan rumah saya, diangkut dengan motor. Dua tahun baru ada jalan mobil, waktu saya bangun rumah ini.” Tutur  Nureani berkisah mengenai rumah barunya.

Nuraeni juga menceritakan bahwa dampak adanya jalan di desanya telah membuat semuanya jadi lebih mudah. Membuat ia berani menyekolahkan anaknya untuk menerima pendidikan yang lebih tinggi.

“Saya punya dua anak yang kuliah di Makassar” ujar Nuraeni.

jalan coy
Akhirnya ada akses jalan di Kahayya

Setelah sarapan pagi dan berbincang dengan tuan rumah kepala dusun. Kami bersiap jalan-jalan ke Donggia. Donggia merupakan salah satu sudut tercantik di Kahayya alias pusat kunjungan wisata di Kahayya. Berjalan kaki di jalan Desa Kahayya membuat tubuh menjadi bugar, udara yang terhirup ke paru-paru mendadak menyegarkan raga yang lelah. Apalagi setibanya di Donggia kami langsung disapa oleh pemandangan barisan perbukitan hijau dan segar.

IMG_20171219_110717
Cantiknya Donggia

Dengan beralaskan rerumputan hijau, teman-teman blogger mendengarkan kisah dari Marssan (32), seorang  pengusaha kopi sekaligus warga Desa Kahayya. Dia menceritakan tentang produk Kopi kahayya yang muncul pertama kali pada tahun 2015, serta produk terbaru desa Kahayya yaitu keripik buncis dan teh kopi. Selain itu Marssan menceritakan bahwa ia  merasa sangat terbantu dengan adanya Sulawesi Community Foundation (SCF) yang berkontribusi dalam membantu pengolahan kopi di Kahayya .

IMG-20171223-WA0030
Mendengarkan kisah kopi Kahayya dari Marssan

“Kegiatan yang dilakukan sangat membantu petani kopi, masyarakat berharap agar kegiatan ini berlanjut” tutur Murssan.

Di Donggia saya juga bertemu dengan Syia (43). Ia adalah warga yang bekerja sebagai petani wanita di Desa Kahayya. Selain menanam kopi sebagai tanaman utama, ia juga menama cengkeh, dan buncis. Syia duduk di atas batuan beku menyapa kami dengan ramah. Ia mengenakan hijab berwarna coklat dan jingga sambil menggendong putranya yang masih balita, Rafli. Tawa riang Rafli terdengar renyah saat beberapa teman blogger mengajaknya bermain.

ibu syia
Syia, Petani Kopi Kahayya (Kiri). Syia menggendong putranya Rafli dan mengajaknya bermain di rumah baca di Desa Kahayya (Kanan).

Syia mempersilahkan saya bertamu di rumahnya. Kala itu sedang gerimis dan kami memang sedang butuh tempat berteduh.

“Itu suami saya sudah pulang dari kebun”

Syia menunjuk ke arah suaminya,  Tube. Tube adalah seorang lelaki paruh bayah yang juga bekerja sebagai petani kopi.

“Kamu harus coba Kahayya, kopi asli,” tutur Syia kemudian.

IMG_20171219_131818
Kopi organik, Kopi Kahayya

Syia berjalan ke dapur, lalu dibalik gorden coklat rumahnya ia muncul sambil membawa secangkir kopi hitam. Saya bisa menghirup aroma wangi kopi itu saat Syia membawanya keluar.

Kopi kahayya adalah kopi organik yang ditanam di tanah vulkanik purba gunung Lompobattang. Petani Desa Kahayya menanamnya sepenuh hati dan merawatnya menggunakan pupuk organik. Saya beruntung telah dijamu dengan racikan kopi asli dari Kahayya yang alami plus meminumnya langsung di Kahayya. Benar-benar berkah dari alam.

Sambil menyesap kopi,  saya mendengarkan kisah Syia mengenai kopi Kahayya yang ia tanam. Ia menunjukkan biji kopi Robusta dan Arabica hasil panennya. Selain beraktifitas di kebun kopi, Syiah juga bergabung dalam kelompok tani wanita bersama dengan para tetangga, dimana mereka telah mampu membuat produk berupa keripik buncis. Selain itu ada Badan Usaha Milik Desa yang membuat  pupuk organik, dimana pupuk tersebut diolah sendiri.

kopi
Biji kopi Robusta (putih) dan Arabica (hitam) (kiri). Kopi robusta yang telah dihaluskan oleh Syia.

“Dulu kalau mau ke daerah lain di luar Dusun atau mau ke pasar, saya harus bangun pukul 03.00 pagi agar bisa berjalan kaki saat hari terang.” Ujar Syia. Ia juga menambahkan bahwa dulu jalan di Kahayya belum ada seperti sekarang ini.  Beberapa tahun belakangan  dengan adanya pembangunan  jalan hingga ke dusunnya  akhirnya bisa dilalui kendaraan bermotor, penjual gas elpiji sudah ada dan penjual lauk pauk seperti sayuran dan ikan kini  sudah hadir di desanya.

“Rencananya akan diadakan kegiatan tilawah Al-qur’an di Kahayya, anak-anak disini belajar mengaji,” ujar Syia dengan penuh semangat.

Di seberang rumah Syia, ada sebuah rumah yang terbuat dari batang pohon kayu manis.

“Cium aromanya, ini kayu manis, sama seperti bangunan di seberang itu. Rencananya akan dijadikan tempat untuk belajar mengaji, ” ujar Syiah sambil menunjukkan kayu manis itu pada saya.

1
Rumah Tahfidz berdinding batang pohon Kayu Manis

Di dekat bangunan kayu manis ada warung milik H. Pabi. H. Pabi menjual produk Kopi Kahayya dan keripik buncis Dusun Tabbuatang, Desa Kahayya.

“Ini Kopi Kahayya dan Keripik itu dari Kelompok Tani Wanita” ujar H. Pabi sambil menunjuk dan  memperlihatkan produk dari Desanya.

produk
H. Pabi dengan produk Desa Kahayya, Kopi Kahayya dan Keripik Buncis

Dulu….

IMG_20171219_113450

Seakan bersembunyi di balik kabut pegunungan. Desa Kahayya hampir terisolasi. Menurut Kepala Desa Kahayya, Abdul Rahman tahun. Tahun 1997 Kahayya masih jalan setapak. Tahun 2007 mulai ada perintisan jalan dan pembangunan jembatan odongan. Hingga 27 Desember 2011 akhirnya resmi jadi Desa Kahayya.

kayyyy
Kabel listrik yang menerobos rimbunnya pohon-pohon di Kahayya.

Keterbatasan akses kala itu membuat warga merasakan keterbelakangan sarana dan prasana, dimana di desa Kahayya hidup 133 Kepala Keluarga ada di  daerah sekitar 1648 hektar. Awalnya layanan sosial sulit diakses oleh masyarakat Desa Kahayya. Perlahan Inklusi sosial telah membuka akses terhadap sumber daya. Potensi kopi Kahayya dan ekowisata desa Kahayya perlahan memudarkan kabut yang menutupinya.

Saya bisa membayangkan bagaimana rasanya jika tidak ada listrik, mati lampu beberapa jam saja sudah membuat saya gelisah. Warga Kota Makassar telah menikmati manfaat listrik selama bertahun-tahun sedangkan Desa Kahayya baru merasakannya beberapa tahun belakangan ini. Begitupun dengan jalan beraspal  untuk kendaraan roda empat, ataupun beberapa akses sosial lainnya.

IMG_20171219_095607
Sekolah di Desa Kahayya
IMG_20171219_095448_Burst03
Posko Kesehatan di Desa Kahayya

Kahaya  sendiri merupakan daerah adat yang menjadi daerah dampingan  dari Sulawesi Community Foundation (SCF). Dimana sebelumnya Kahayya adalah daerah yang tereksklusi secara geografis hingga sulit mendapatkan akses sosial seperti pendidikan, kesehatan, dan akses lainnya.

Bekerjasama dengan Pemda Bulukumba, SCF, dan kemitraan serta masyarakat Kahaya mengembangkan produk Kopi Kahayya. Dengan adanya sinergitas Pemerintah Daerah dengan program peduli, dan masyarakat mulai dari peningkatan ekonomi, ekowisata hingga produk kopi.

Kini Kahayya hampir tidak terisolasi, 2 sampai 3 tahun berlalu Kahayya kini dilirik.

Kopi memang lekat dengan Desa Kahayya, mengenai nama dari Desa Kahayya yang ternyata berasal dari bahasa daerah setempat yaitu, Kaha yang berarti kopi, dan Yang berarti tempat. Dari sini saya telah merasakan bahwa Kahayya memang tanah yang diberkahi sebagai tempat tumbuhnya salah satu kopi terbaik di tanah air. Kopi Kahayya.