Dinamika Budaya Pop Dunia

Hari itu saya sedang libur dan berniat nonton film seharian. Bersama dengan adik perempuanku, kami kemudian menghabiskan waktu di bioskop.

Setelah memilih film yang akan dia tonton (ia memilih Film Hollywood berjudul “The Nutcracker and the Four Realism,”) tanpa mengeluarkan kata-kata lisan,  saat di depan mbak petugas  tiket film,  mata adik saya melirik ke samping (ke arah saya), sebuah bahasa kalbu yang mengatakan “Bayarkan saya tiket nonton, plus nanti habis nonton, ajakin makan sekalian”

“Sebagai hukum alam khususnya yang berlaku di wilayah Asia,  orang yang lebih tua selalu membayar untuk orang yang lebih muda”

Itulah mengapa orang yang lebih tua kebanyakan suka bekerja dan mencari uang lebih giat. 

Sebelumnya saya masih berdiri di depan loket,  dan beberapa film baru, yang menjadi perhatian saya adalah film bertema musik  “Bohemian Rapsody” dan “Burn The Stage.”

Screenshot_20190323_210845

Jadi hari itu saya sudah selesai menonton Film Nutcracker (dimana pemeran utamanya cantik banget), dan  saya juga menonton film “Bohemian Rapsody” dan “Burn The Stage.” Dan saya kemudian menyadari bahwa film- film yang saya nonton maupun musik yang saya dengar adalah produk dari Budaya Pop Dunia. Dan ajaibnya produk industry pop ini menjadi salah satu penggerak roda perekonomian suatu negara yang memproduksinya.

Produk Culture Pop Amerika

Bohemian Rapsody, film yang diadaptasi dari kisah lead vocalist  grup band Rock Queen yang melegenda Freddie Mercury. Musik telah menjadi bahasa universal bagi dunia. Musik dengan  lirik barat adalah salah satu produk terbaik Pop culture Amerika selain produk film Hollywood.

Dan sekarang, musik+Film kombinasi yang sempurna,  Seorang Freddie Mercury yang memiliki banyak penggemar,  pernah dibenci (karena orientasi seksualnya),  namun dicinta karena musik dan karismanya saat tampil di panggung.

Freddie Mercury sudah wafat dan bandnya sudah sangat terkenal, bahkan personil Queen yang lain (John,  Brian May,  Roger) sudah opa-opa banget,  namun karya terbaik mereka yaitu berupa musik membuat orang-orang itu terus abadi. Suara petikan bass dan gitarnya,  gebukan drumnya, serta suara instrument musiknya masih mengalun, dan suara vocal Freddie masih bisa memukau fansnya di masa lalu,  dan bahkan masih bisa memukau para millenial dan generasi Z.

“We will rock you”  adalah lagu pertama Queen yang saya kenal,  itupun karena lagu itu telah menjadi  salah satu lagu ikonik  yang kerap dinyanyikan  para mahasiswa senior di fakultas saya kuliah.

Lagu tersebut memang cukup membuat pendengarnya adiktif dan bersemangat. Kepopulerannya masih ada hingga kini, bahkan kembali dibangkitkan  dalam sebuah film berjudul Bohemian Rapsody.

Saking populernya, Rami Malek aktor yang memerankan Freddie Mercury,  langsung mendapatkan piala oscar, karena berhasil dengan baik memerankan sosok Freddie Mercury.

Dan sampai sekarang Film,  musik,  dan animasi  merupakan produk budaya Pop Amerika yang masih melanda dunia, apalagi jika ada Film Terbaru tema superhero dari Marvel atau DC.

Produk Culture Pop Asia

Jepang sebuah negara di dekat samudera Pasifik,  pernah menjadi lawan Amerika di saat perang dunia II,

Setelah perang berakhir, Jepang perlahan bangkit dan membangun negaranya,  berpuluh-puluh tahun kemudian ia menghasilkan produk budaya pop yang mendunia menyaingi barat seperti anime (kartun Jepang),  Film, musik dan komik.

lalu lahirlah istilah Weaboo

Weeaboo is a mostly derogatory slang term for a Western person who is obsessed with Japanese culture, especially anime, often regarding it as superior to all other cultures.

Generasi 90an tumbuh dengan culture pop Jepang berupa anime dan drama Jepang,  dan musik Jepang di masa kanak-kanaknya.

Setelah remaja dan memasuki usia dewasa muda, muncullah “Korean wave” alias gelombang hallyu,  berdasarkan pengalaman hidup saya,  “Korean Wave” diperkiraan mulai populer di Indonesia pada tahun 2006-2019 (tulisan ini ditulis pada tahun 2019 entah berapa lama Culture pop Korea Selatan akan bertahan,  waktu yang akan menjawabnya).

waktu terus bergulir saat anak-anak generasi Z lahir di dunia dan Korean Wave masih ada,  bahkan terus berkembang,  hingga kemudian gelombang itu bukan sekedar gelombang biasa tapi telah menjelma menjadi gelombang “tsunami.”

Tsunami,  yang kemudian melahirkan istilah Koreaboo (menandingi keberadaan Weibo)

A non-native Korean who is obsessed with Korean culture to the point where they denounce their own national/native identity and proclaim that they are Korean.

Bagaimana tidak, Culture pop Korea Selatan kini menghampiri Amerika dan Eropa,  dimana sebelumnya disana ada basis terkuat culture pop Amerika yang lahir dan beranak pinak.

“The seven members of BTS and their fan ARMY descended on Times Square this morning (Sept. 26) for their first appearance on ABC’s Good Morning America. The GMA episode marked BTS’ first-time ever appearing on a national Stateside morning show. “

BTS, grup musik asal Korea Selatan yang kini digemari diseluruh dunia,  bahkan mengguncangkan panggung Amerika. Saat BTS tampil, anak muda Amerika berteriak-teriak menyanyikan lagu dengan berbahasa Korea Selatan. Grup ini bahkan mengadakan konser tour dunia dimana tiket di Eropa dan Amerika habis terjual meski diselenggarakan di stadion sepak bola.

Seberapa kuat dampak dari culture Pop bagi dunia? sama seperti rasa penasaran saat menonton Bohemian Rapsody, penasaran kembali,  kemudian menonton film yang satunya lagi,yaitu Burn the stage.

Tapi saat menonton  kedua film ini saya sendirian, (adik perempuan saya tidak terlalu berminat pada film bertema musik ditambah lagi ia sangat membenci hal-hal yang berbau musik rock barat jadul dan musik korea atau K-pop).  Anehnya, rasa benci itu tidak berlaku saat ia menonton drama korea.

Dalam bioskop, seat bioskop pun perlahan terisi oleh penonton. Kebanyakan bergerombol, remaja SMP dan SMA,  mungkin sebagian ada juga yang mahasiswa, dan banyak remaja perempuan, kumpulan remaja laki-laki tersisih di bagian kursi belakang sepertinya satu rombongan, sedang remaja laki-laki yang lain tersebar secara acak di kursi depan.

Film dimulai dan banyak remaja perempuan yang menjerit-jerit saat melihat idolanya muncul di layar kaca bioskop yang sedemikian lebar, melihat pemandangan tersebut saya kemudian teringat akan Queen. Para penggemar secara kompak mengikuti aba-aba dari Freddie Mercury yang meleganda, dan kompak menyanyi bersama.

” Eo…eo… ede.. edede… edededeeeeee..” ujar Freddie Mercury (*kayak logat orang Makassar kalo lagi ngeluh)

Screenshot_20190323_210625

Dan rasa ingatan itu, semakin kuat saat saya saat menonton film Burn The Stage namun beralih ke grup lain yang lebih tua yaitu The Beatles.

Potongan rupa anggota The Beatles bahkan mirip dengan grup penyanyi Korea Selatan tersebut, “Sama-sama memakai poni.”

Screenshot_20190323_215123

Saya pernah menonton video konser The Beatles di internet,  dan respon penggemar remaja baik dulu maupun sekarang ternyata masih sama, yaitu masih suka berteriak histeris saat melihat wajah idolanya muncul.

Saya duduk sebaris dengan tiga remaja, tapi mereka berbeda dengan remaja yang duduk di seat bagian tengah.  Ketiga remaja yang duduk di samping saya cenderung kalem. Saya merasa sangat beruntung karena saya bisa menonton film dengan tenang tanpa terdistorsi oleh teriakan anak perempuan.

Dua jam kemudian film Burn the stage itu pun selesai, lampu dinyalakan dan perlahan beberapa penonton mulai berjalan meninggalkan ruangan.

BTS

Seperti Behemian Rapsody, film itu mengangkat tema musik,  tapi bedanya Burn the stage disajikan dalam bentuk film dokumenter,  hari ini kemudian diakhiri dengan saya menonton film dokumenter penyanyi korea bernama BTS selama dua jam.

Beruntungnya karena saya memang suka menonton film dokumenter,  dulu saya juga pernah menonton film dokumenter penyanyi lain,  film dokumenter Bob Marley,  sayangnya di film itu tidak menampilkan Bob Marley secara langsung dan hanya menampilkan orang terdekatnya, logisnya  karena Bob Marley sendiri sudah lama wafat.

Apa yang saya dapat dari film dokumenter dengan durasi 2 jam ini?

Terlepas dari stigma fans kpop yang fanatik dan alay serta isu plastic surgeon para idol Korea, saya menemukan banyak narasi bagus dan juga hasil kerja keras di film dokumenter ini, banyak monolog-monolog yang  suaranya dilisankan langsung oleh anggota grup itu, bahwa untuk meraih sebuah cita-cita atau kesuksesan memang butuh effort, mencintai dan menghargai diri sendiri, empati, kecerdasan emosional,  serta,  keyakinan dan kepercayaan pada mimpi.

Utamanya narasi dari para rapper BTS sendiri, (biasanya rapper itu cerdas,  dan kritis, karena lirik lagunya langsung diciptakan oleh rapper itu sendiri) saya menemukan banyak metafora,  dan kiasan bahasa yang tak bisa ditelan mentah-mentah, ini mengingatkan saya akan karya sastra Indonesia, pepatah dan sajak kebudayaan bahasa Indonesia jaman dulu. Dimana setiap kata,  setiap simbol budaya,  memiliki arti atau makna kehidupan manusia di baliknya.

12 thoughts on “Dinamika Budaya Pop Dunia”

  1. Lumayan nih pengaruh Jepang dan korea mulai dari musik,film dan kartoonnya.. Anak-ank Gen z sekarang pada lebih kenal Kartun, music dan film jepang dan korea daripada Karya lokal.

    Like

  2. Negara di Asia tentu berusaha menyaingi karya2 negara negara berat dengan originalitasnya, Jepang dan Korsel salah satunya, Thailand juga, dan tentunya Indonesia juga memiliki originalitaanya sendiri.

    Like

  3. Pada intinya, berbagai negara pasti memiliki ciri khas di dalam sebuah film. Termasuk film dokumenter. Saya menyukai lagu2 queen krn film “Bohemian Rhapsody” itu. Padahal dulunya lagu queen yang saya tau itu cuma We Will Rock You, We Are The Champions.

    Like

  4. fanatisme sejatinya ada pada semua aliran, entah itu rock atau pun kpop. bentuk dan ke-alay-annya saja berbeda.

    Like

  5. Hal yang menarik adalah bagaimana Korsel mempersiapkan semuanya untuk menguasai dunia lewat pop culture.

    Semua datang dengan persiapan kuat, bukan asal bikin dalam 1-2 tahun.

    Like

Leave a comment